Thursday, March 3, 2016

WHAT’S THE NAME: RIF’AT MUKHLISHAH HAMID

Dua belas tahun lalu, dikesunyian malam yang hening, saat istri dan anak-anakku terlelap, saya yang masih terjaga tidak dapat berkonsentrasi penuh menelaah secara kritis artikel riset yang akan dibahas besok pagi pada kuliah jam pertama. Pikiran saya terganggu atas bisikan istri saya dipagi hari bahwa dia hamil.

Setengah tidak percaya kalau anak bungsu saya yang sudah kelas dua SD akan memiliki adik lagi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan hal ini. Saya berfikir anak saya cuma tiga,
dan kemungkinan untuk mendapatkan anak yang keempat relatif kecil. Selain faktor umur saya dan istri, juga tidak pernah ada tritmen khusus untuk tambahan anak. Kecuali kesiapan secara mental saja jika sekiranya Allah masih menganugrahi kami anak. Antara rasa tidak percaya dan rasa syukur.

Allah mengamanahkan lagi hambanya hadir di tengah kami, bersama tiga kakaknya. Mungkin benar anekdot yang berkembang dikalangan mahasiswa S3 ekonomi UGM bahwa stress suami dapat berakibat sesuatu pada pasangan hidup. Memicu kehamilan istri. Suami stress menghadapi perkuliahan dan tugas-tugas telaah kritis artikel, istri yang jadi korban. Hamil.

Malam semakin larut, namun keyboard computer belum terketuk sama sekali oleh jari-jari tangan. Belum ada tulisan di layar monitor. Kursor hanya berkedip-kedip. Konsentrasi saya terpecah, antara menulis hasil reviu artikel atau mencari calon nama untuk anak saya. Nampaknya pilihan reviu kalah. Mencari nama menjadi prioritas.

Beberapa saat berlangsung, saya belum menemukan nama yang pas buat anak saya. Dua nama harus dipersiapkan. Tergantung jenis kelaminnya. Jika perempuan namanya ini. Kalau laki namanya ini. Saya memberikan nama kepada anak saya tergantung apa yang menjadi keinginan saya saat itu atau suasana apa yang saya alami saat itu. Nama anak saya adalah harapan saya. Harapan terjelma dalam sifat dan karakternya. Saya berharap dengan menyebut atau memanggil namanya, makna nama itu akan termaknai sebagai doa. Ini menjadi penting bagi orang tua Islam yang menginginkan anaknya menjadi anak yang baik, shaleh-shalehah. Berbakti kepada orang tua dan berguna bagi bangsa dan Negara. Melalui pemberian nama yang baik, insya Allah hal itu dapat terwujud.

Anak pertama saya bernama Abdullah Nazhim. Nazhim artinya pemimpin. Saat dia lahir, Ummat Islam dan Negara Islam berpecah belah dan lemah. Mereka butuh pemimpin. Ketika dia lahir, saya sematkan nama itu. Sementara adiknya lahir saat senang-senangnya saya membaca surah AlBayyinah. Satu ayat dalam surah itu mempengaruhi jiwa saya. Ridha dan diridhai, Radhiallahu anhu waradu anhu. Saya beri nama Radhiyah Mardhiyah. Demikian pula anak saya yang ketiga. Saya terkagum membaca kisah Fathimah Putri Rasullah Muhammad SAW. Begitu indahnya penulis mendeskrsipkan sifat, karakter, dan akhlaq beliau dalam bukunya. Saya meniatkan jika anak ketiga saya perempuan, saya akan beri nama Fathimah Azzahrah. Allah menakdirkan bayi ketiga saya benar perempuan. Jadilah ia bernama Fathimah Azzahrah.

Akhirnya lewat tengah malam, saya menemukan dasar perumusan nama. Nama yang terkait dengan tugas saya sekarang sebagai mahasiswa. Mahasiswa S3 Akuntansi UGM. Jenjang tertinggi dalam strata pendidikan formal. Saya berfikir ini pas. Allah meninggikan derajat orang beriman di antara kalian dan orang yang berilmu. “YarfailLahu laziina aamanu minkum wallaziina uutul ‘ilma darajaat (QS Al-Mujadilah,11)”, Allah mengangkat derajatnya orang beriman dan berilmu.

Pada hari Sabtu tanggal 4 Oktober 2003 di RS Bersalin Sakinah Sleman Yogyakarta, lahirlah anak saya yang keempat ini. Bayi perempuan, mungil dan cantik. Segera saya merumuskan namanya untuk didaftar di catatan sipil dan diresmikan saat aqiqah.

Berakar dari “YarfailLahu”, kemudian terekstraklah nama “Rif’at”. Artinya derajatnya tinggi. Nampaknya nama ini pas. Sesuai janji Allah dan status saya sebagai mahasiswa S3. Saya berharap derajatnya tinggi karena ilmunya, dan tentu juga karena imannya. Tapi kembali saya berfikir namanya harus dua suku kata. Sebagaimana nama kakaknya juga terdiri dari dua suku kata. Saya tidak tahu mengapa harus dua suku kata. Rasanya enak saja didengar dan diucap. Satu suku kata terlalu pendek, tiga suku kata terlalu panjang. Saya pun akhirnya mencari suku kedua yang pas setelah Rif’at. Pas dari sisi bunyi dan arti.

Lewat tengah malam, saya pun teringat ungkapan seorang penceramah saat saya mampir shalat maghrib di salah satu masjid di jalan Magelang Yogyakarta. Belia berkata:

 “Penakut dikalahkan oleh pemberani, pemberani dikalahkan oleh orang nekat, orang nekat dikalahkan oleh orang berilmu, orang berilmu dikalahkan oleh orang yang mengamalkan ilmunya, dan orang yang mengamalkan ilmunya akan dikalahkan oleh orang ikhlash.”

Ikhlash adalah puncak, mengalahkan orang berilmu dan orang yang mengamalkan ilmunya. Bahkan syaitan pun mengaku bahwa hanya orang ikhlash yang tidak mampu dijerumuskannya. Mengapa? Karena orang ikhlash telah menjadikan Allah sebagai episentrumnya.

Kata “ikhlash” terakhir ini nampaknya cocok sebagai akar kata sambungan nama awalnya, sehingga menjadi idiom yang sempurna. Supaya anak saya tidak takabur karena ilmunya, sebagaimana penyakit sebagian ilmuwan. Dia harus ikhlas. Jadilah ikutan namanya adalah “mukhlishah”. Artinya orang ikhlash. Enak dibaca, indah kedengaran…Rif’at Mukhlishah”…”

Semoga berberkah umurmu Sayang yang ke 12”
Makassar, 4 Oktober 2015 Aba, yang merindukan makna namamu..

Perdagangan: Memelihara Nilai Instrinsik Harta

  Uang sebagai alat tukar memiliki nilai intrinsik atau nilai fundamental. Nilai inilah yang menjamin daya tukar atau daya beli suatu mata...