Thursday, July 8, 2021

Perdagangan: Memelihara Nilai Instrinsik Harta

 


Uang sebagai alat tukar memiliki nilai intrinsik atau nilai fundamental. Nilai inilah yang menjamin daya tukar atau daya beli suatu mata uang. Nilai intrinsik tidak sama dengan nilai buku. Misal, pada lembaran uang tertulis Rp100 ribu, tetapi nilai intrinsik uang tersebut belum tentu sebesar Rp100 ribu. Bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Bila terjadi inflasi maka nilai intrinsik uang menurun, dan kerenanya daya belinya juga turun. Demikian pula sebaliknya. Dalam kondisi inflasi, uang Rp100 ribu kemungkinan hanya bisa dapat 10 unit barang A. Tetapi dalam kondisi normal bisa mendapat 12 unit, dan dalam kondisi deflasi bisa dapat lebih besar lagi barang A. Oleh karenanya, nilai uang sangat rentan dengan fluktuasi harga barang. Dalam suasana harga barang naik, seseorang bisa kehilangan uang meskipun jumlah lembar dan nilai bukunya tetap.  Hati-hati! Bisa kecopetan semu.  

Hubungan antara nilai uang dengan fluktuasi harga dalam rentan waktu tertentu inilah yang dikenal dengan time value of money. Uang memiliki nilai waktu dan dalam seri waktu nilai uang bisa berubah seiring dengan fluktuasi  harga barang dan jasa. Konsekuensi ini muncul sejak penggunakan fiat money sebagai alat tukar menggantikan mata uang emas atau dinar. Dengan uang kartal ini, nilai uang tidak lagi terletak pada uang itu sendiri melainkan berada pada nilai barang, sementara harga barang terikat dengan hukum permintaan dan penawaran. Dengan sendirinya nilai uang juga terikat dengan hukum teori harga ini. Uang Rp100 ribu dalam beberapa waktu yang akan datang mungkin hanya senilai Rp10 ribu. Hal ini disebabkan karena harga barang sudah naik berkali-kali lipat.

Dengan kondisi tersebut, Islam sangat menekankan atau bahkan mewajibkan pemilik harta untuk menjaga dan meningkatkan nilai intrinsik hartanya. Cara yang bernilai bisnis yang dianjurkan oleh Islam untuk meningkatkan value harta adalah dengan menginvestasikan. Investasi bisa dalam bentuk perdagangan yang dikelola sendiri atau pun dengan pola kerjasama seperti musyarakah atau mudharabah. Tapi investasinya harus dalam bentuk sektor ril, baik dalam bentuk barang atau jasa. Uangnya harus dikonversi menjadi barang atau jasa, kemudian dipertukarkan. Dengan cara ini akan terjadi perpindahan kepemilikan tanpa adanya kezaliman, penyebaran kemaslahatan yang seimbang antar pihak, dan sekaligus terciptanya kreasi nilai atas uang yang dimiliki. Nilai intrinsiknya terpelihara. Daya belinya terjaga. Hanya cara inilah, dalam bentuk bisnis,  yang dibenarkan oleh Allah SWT sebagaimana firmanNya dalam surah An-Nisa ayat 29:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”


Memang ada cara lain untuk memelihara nilai uang yang juga bernuansa bisnis, yaitu dengan cara “membungakan”. Melalui utang-piutang. Baik dilakukan secara individu maupun oleh lembaga keuangan. Tapi cara ini batil karena mengandung unsur riba. Dilarang Allah SWT. Siklus penjagaan harta dalam pola ini tidak ada unsur barang atau jasa. Polanya “uang – uang” bukan pola “uang – barang/jasa – uang”. Oleh karenanya pola ini bukan pola perdagangan barang atau jasa, tetapi lebih kepada perdagangan uang. Bertentangan dengan norma yang dikandung dalam ayat di atas. Kreasi nilai rendah dalam siklus bisnisnya. Pengalihan hak mengandung unsur kezaliman karena spekulasi risiko yang tidak  berimbang diantara pihak yang bertransaksi yaitu antara kreditur dan debitur. Oleh karenanya tujuan memelihara daya beli dari pengaruh inflasi tidak tercapai secara optimal, bahkan mungkin hilang,  karena dengan pola ini secara tidak langsung uang beralih fungsi dari alat tukar penyimpan nilai menjadi barang komoditi. Yang tetap terikat pada hukum teori harga.

Jadi, memelihara nilai uang melalui perdagangan barang atau jasa dalam sektor ril amat berberkah. Seluruh mata rantai dalam siklus polanya akan terjadi penciptaan nilai. Nilai fundamental uang terjaga. Secara makro akan berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi. Kemaslahatan sebagaimana tujuan ekonomi dari perspektif Islam secara menyeluruh akan terasa. Sementara dengan cara  “membungakan” uang untuk menjaga  nilainya akan menciptakan ketidakseimbangan karena kreasi nilai dalam mata rantai siklus bisnisnya tidak seimbang. Ada spekulasi risiko diantara mata rantainya, kemaslahatan tidak merata, dan karenanya ada unsur kezaliman. Akibatnya, nilai fundamental uang secara otomatis kurang terjaga. Secara makro memang memiliki kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga menciptakan kesenjangan yang lebar, dan ini adalah biang dari banyaknya fenomena sosial di dunia ini. Mari berdagang!!   

 

Thursday, March 3, 2016

WHAT’S THE NAME: RIF’AT MUKHLISHAH HAMID

Dua belas tahun lalu, dikesunyian malam yang hening, saat istri dan anak-anakku terlelap, saya yang masih terjaga tidak dapat berkonsentrasi penuh menelaah secara kritis artikel riset yang akan dibahas besok pagi pada kuliah jam pertama. Pikiran saya terganggu atas bisikan istri saya dipagi hari bahwa dia hamil.

Setengah tidak percaya kalau anak bungsu saya yang sudah kelas dua SD akan memiliki adik lagi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan hal ini. Saya berfikir anak saya cuma tiga,
dan kemungkinan untuk mendapatkan anak yang keempat relatif kecil. Selain faktor umur saya dan istri, juga tidak pernah ada tritmen khusus untuk tambahan anak. Kecuali kesiapan secara mental saja jika sekiranya Allah masih menganugrahi kami anak. Antara rasa tidak percaya dan rasa syukur.

Allah mengamanahkan lagi hambanya hadir di tengah kami, bersama tiga kakaknya. Mungkin benar anekdot yang berkembang dikalangan mahasiswa S3 ekonomi UGM bahwa stress suami dapat berakibat sesuatu pada pasangan hidup. Memicu kehamilan istri. Suami stress menghadapi perkuliahan dan tugas-tugas telaah kritis artikel, istri yang jadi korban. Hamil.

Malam semakin larut, namun keyboard computer belum terketuk sama sekali oleh jari-jari tangan. Belum ada tulisan di layar monitor. Kursor hanya berkedip-kedip. Konsentrasi saya terpecah, antara menulis hasil reviu artikel atau mencari calon nama untuk anak saya. Nampaknya pilihan reviu kalah. Mencari nama menjadi prioritas.

Beberapa saat berlangsung, saya belum menemukan nama yang pas buat anak saya. Dua nama harus dipersiapkan. Tergantung jenis kelaminnya. Jika perempuan namanya ini. Kalau laki namanya ini. Saya memberikan nama kepada anak saya tergantung apa yang menjadi keinginan saya saat itu atau suasana apa yang saya alami saat itu. Nama anak saya adalah harapan saya. Harapan terjelma dalam sifat dan karakternya. Saya berharap dengan menyebut atau memanggil namanya, makna nama itu akan termaknai sebagai doa. Ini menjadi penting bagi orang tua Islam yang menginginkan anaknya menjadi anak yang baik, shaleh-shalehah. Berbakti kepada orang tua dan berguna bagi bangsa dan Negara. Melalui pemberian nama yang baik, insya Allah hal itu dapat terwujud.

Anak pertama saya bernama Abdullah Nazhim. Nazhim artinya pemimpin. Saat dia lahir, Ummat Islam dan Negara Islam berpecah belah dan lemah. Mereka butuh pemimpin. Ketika dia lahir, saya sematkan nama itu. Sementara adiknya lahir saat senang-senangnya saya membaca surah AlBayyinah. Satu ayat dalam surah itu mempengaruhi jiwa saya. Ridha dan diridhai, Radhiallahu anhu waradu anhu. Saya beri nama Radhiyah Mardhiyah. Demikian pula anak saya yang ketiga. Saya terkagum membaca kisah Fathimah Putri Rasullah Muhammad SAW. Begitu indahnya penulis mendeskrsipkan sifat, karakter, dan akhlaq beliau dalam bukunya. Saya meniatkan jika anak ketiga saya perempuan, saya akan beri nama Fathimah Azzahrah. Allah menakdirkan bayi ketiga saya benar perempuan. Jadilah ia bernama Fathimah Azzahrah.

Akhirnya lewat tengah malam, saya menemukan dasar perumusan nama. Nama yang terkait dengan tugas saya sekarang sebagai mahasiswa. Mahasiswa S3 Akuntansi UGM. Jenjang tertinggi dalam strata pendidikan formal. Saya berfikir ini pas. Allah meninggikan derajat orang beriman di antara kalian dan orang yang berilmu. “YarfailLahu laziina aamanu minkum wallaziina uutul ‘ilma darajaat (QS Al-Mujadilah,11)”, Allah mengangkat derajatnya orang beriman dan berilmu.

Pada hari Sabtu tanggal 4 Oktober 2003 di RS Bersalin Sakinah Sleman Yogyakarta, lahirlah anak saya yang keempat ini. Bayi perempuan, mungil dan cantik. Segera saya merumuskan namanya untuk didaftar di catatan sipil dan diresmikan saat aqiqah.

Berakar dari “YarfailLahu”, kemudian terekstraklah nama “Rif’at”. Artinya derajatnya tinggi. Nampaknya nama ini pas. Sesuai janji Allah dan status saya sebagai mahasiswa S3. Saya berharap derajatnya tinggi karena ilmunya, dan tentu juga karena imannya. Tapi kembali saya berfikir namanya harus dua suku kata. Sebagaimana nama kakaknya juga terdiri dari dua suku kata. Saya tidak tahu mengapa harus dua suku kata. Rasanya enak saja didengar dan diucap. Satu suku kata terlalu pendek, tiga suku kata terlalu panjang. Saya pun akhirnya mencari suku kedua yang pas setelah Rif’at. Pas dari sisi bunyi dan arti.

Lewat tengah malam, saya pun teringat ungkapan seorang penceramah saat saya mampir shalat maghrib di salah satu masjid di jalan Magelang Yogyakarta. Belia berkata:

 “Penakut dikalahkan oleh pemberani, pemberani dikalahkan oleh orang nekat, orang nekat dikalahkan oleh orang berilmu, orang berilmu dikalahkan oleh orang yang mengamalkan ilmunya, dan orang yang mengamalkan ilmunya akan dikalahkan oleh orang ikhlash.”

Ikhlash adalah puncak, mengalahkan orang berilmu dan orang yang mengamalkan ilmunya. Bahkan syaitan pun mengaku bahwa hanya orang ikhlash yang tidak mampu dijerumuskannya. Mengapa? Karena orang ikhlash telah menjadikan Allah sebagai episentrumnya.

Kata “ikhlash” terakhir ini nampaknya cocok sebagai akar kata sambungan nama awalnya, sehingga menjadi idiom yang sempurna. Supaya anak saya tidak takabur karena ilmunya, sebagaimana penyakit sebagian ilmuwan. Dia harus ikhlas. Jadilah ikutan namanya adalah “mukhlishah”. Artinya orang ikhlash. Enak dibaca, indah kedengaran…Rif’at Mukhlishah”…”

Semoga berberkah umurmu Sayang yang ke 12”
Makassar, 4 Oktober 2015 Aba, yang merindukan makna namamu..

Sunday, January 10, 2016

Kesalahan Type I dan II

Kesalahan Tipe I dan II adalah kesalahan yang dapat mempengaruhi herding, regret theory

Monday, January 4, 2016

Pentingnya Perubahan



Seorang direktur berjalan mengelilingi kawasan bagian produksi. Terlihat dia mengamati dengan seksama karyawan pabrik yang sedang sibuk bekerja. Sesekali dia melihat ke kiri dan ke kanan seputar  lingkungan pekerjaan bidang produksi. Kehadiran direktur di area pabrik ini tidak seperti biasanya. Nampaknya ada sesuatu yang mencemaskannya dan mencoba mencari jawabannya. Maklum, laporan yang diterima dari bagian produksi cukup mengecewakan. Kinerja bagian produksi akhir-akhir ini menunjukkan grafik menurun. Berbeda dengan kinerja bagian-bagian lainnya. Dalam kujungan singkatnya itu, dia sedikit merasakan lampu di bagian produksi kurang terang dibanding lampu di bagian lain. Dia kemudian memerintahkan untuk menambah watt lampu di bagian produksi itu. Sambil berjalan, diapun meminta kepada manajer produksi untuk membuat proposal pelatihan motivasi pada karyawan bagian produksi. Pelatihan dilakukan secara bergilir dan dimulai bulan depan.

Sebulan kemudian, dia sedikit terkejut karena kinerja karyawan bagian produksi meningkat, padahal pelatihan belum dimulai. Diapun berfikir keras apa yang membuat kinerja karyawan produksi meningkat. Dia mulai menduga, jangan-jangan karena kunjungannya ke tempat itu. Tapi, dia menampik sendiri dugaannya, bukankah sebelumnya juga sering berkunjung ke bagian itu.   Dia mencoba mengingat apa yang telah dilakukannya saat berkunjung. Tidak ada yang istimewa, kecuali sekedar memerintahkan manajer produksi untuk menambah watt lampu yang saat itu redup.  Tidak ada jawaban pasti, tapi dia tetap berasumsi bahwa mungkin karena suasana yang semakin terang.  

Beberapa bulan kemudian, diapun mencoba asumsinya ini dengan kembali menaikkan watt lampu di bagian produksi tersebut. Benar saja, laporan yang masuk menunjukkan kinerja bagian produksi meningkat lagi.

Dugaan awalnya yang hanya berupa perkiraan, kini sudah menjelma menjadi sebuah keyakinan. Tapi dia tetap tidak ingin gegabah. Dia tidak segera mempercayai sepenuhnya asumsi itu. Diapun mencoba pengujian kontras atau reversal. Dia menurunkan watt lampu di bagian produksi tersebut beberapa bulan kemudian. Dengan keyakinan bahwa jika benar antara tingkat watt lampu berhubungan positif dengan kinerja maka pasti reversalnya juga berhubungan positif. Artinya, ketika watt lampu diturunkan, maka kinerja bagian produksi juga akan turun.

Sebulan setelah penggantian watt lampu itu, dia membaca laporan yang cukup mengejutkan, ternyata kinerja karyawan tetap meningkat. Diapun penasaran. Aneh.

Beberapa bulan kemudian, percobaannya diulangi lagi dengan jumlah watt yang lebih rendah. Hasilnya sama, yaitu kinerja karyawan tetap meningkat. Fakta ini bertentangan dengan prediksinya. Antar watt dan kinerja hanya berhubungan positif jika watt lampu dinaikkan, tetapi berhubungan negatif jika watt lampu diturunkan.

Dia kembali merenung, berarti antara tingkat watt dan kinerja tidak berhubungan positif.
Temuannya kemudian disampaikan kepada sahabatnya yang tengah mendalami masalah perilaku keorganisasian. Setelah menceritakan apa yang dialaminya. Sahabatnyapun  berkata bahwa sebenarnya kenaikan atau penurunan kinerja karyawan produksi perusahaan bukan disebabkan oleh tinggi rendahnya watt lampu, tetapi lebih disebabkan oleh perubahan watt lampunya. Perubahan watt lampu dari rendah ke tinggi dan demikian pula sebaliknya, yang sering disebut delta, membawa suasana baru bagi karyawan. Suasana monoton yang selama ini dirasakan membuat mereka kurang bergairah. Semangatnya kembali terpicu dan terpacu hanya dengan sedikit perubahan.


Wow!!,  “perubahan?”, pikirnya. Perubahan dapat menaikkan kinerja? Wah..perubahan dapat membawa perubahan?! Ternyata sesuatu yang kecil dapat membuat sesuatu yang besar.   Sejak saat itu diapun berpikir bahwa sesungguhnya  perubahan adalah aset tak berwujud yang seharusnya  dikelola. Harus ada manajemen perubahan…..    

Perdagangan: Memelihara Nilai Instrinsik Harta

  Uang sebagai alat tukar memiliki nilai intrinsik atau nilai fundamental. Nilai inilah yang menjamin daya tukar atau daya beli suatu mata...