Uang sebagai alat tukar memiliki nilai intrinsik atau nilai fundamental.
Nilai inilah yang menjamin daya tukar atau daya beli suatu mata uang. Nilai
intrinsik tidak sama dengan nilai buku. Misal, pada lembaran uang tertulis
Rp100 ribu, tetapi nilai intrinsik uang tersebut belum tentu sebesar Rp100
ribu. Bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Bila terjadi inflasi maka nilai
intrinsik uang menurun, dan kerenanya daya belinya juga turun. Demikian pula
sebaliknya. Dalam kondisi inflasi, uang Rp100 ribu kemungkinan hanya bisa dapat
10 unit barang A. Tetapi dalam kondisi normal bisa mendapat 12 unit, dan dalam
kondisi deflasi bisa dapat lebih besar lagi barang A. Oleh karenanya, nilai
uang sangat rentan dengan fluktuasi harga barang. Dalam suasana harga barang
naik, seseorang bisa kehilangan uang meskipun jumlah lembar dan nilai bukunya
tetap. Hati-hati! Bisa kecopetan semu.
Hubungan antara nilai uang dengan fluktuasi harga dalam rentan waktu
tertentu inilah yang dikenal dengan time value of money. Uang memiliki
nilai waktu dan dalam seri waktu nilai uang bisa berubah seiring dengan
fluktuasi harga barang dan jasa.
Konsekuensi ini muncul sejak penggunakan fiat money sebagai alat tukar
menggantikan mata uang emas atau dinar. Dengan uang kartal ini, nilai uang tidak
lagi terletak pada uang itu sendiri melainkan berada pada nilai barang,
sementara harga barang terikat dengan hukum permintaan dan penawaran. Dengan
sendirinya nilai uang juga terikat dengan hukum teori harga ini. Uang Rp100
ribu dalam beberapa waktu yang akan datang mungkin hanya senilai Rp10 ribu. Hal
ini disebabkan karena harga barang sudah naik berkali-kali lipat.
Dengan kondisi tersebut, Islam sangat menekankan atau bahkan mewajibkan
pemilik harta untuk menjaga dan meningkatkan nilai intrinsik hartanya. Cara yang
bernilai bisnis yang dianjurkan oleh Islam untuk meningkatkan value harta
adalah dengan menginvestasikan. Investasi bisa dalam bentuk perdagangan yang
dikelola sendiri atau pun dengan pola kerjasama seperti musyarakah atau
mudharabah. Tapi investasinya harus dalam bentuk sektor ril, baik dalam bentuk
barang atau jasa. Uangnya harus dikonversi menjadi barang atau jasa, kemudian
dipertukarkan. Dengan cara ini akan terjadi perpindahan kepemilikan tanpa
adanya kezaliman, penyebaran kemaslahatan yang seimbang antar pihak, dan sekaligus
terciptanya kreasi nilai atas uang yang dimiliki. Nilai intrinsiknya
terpelihara. Daya belinya terjaga. Hanya cara inilah, dalam bentuk bisnis, yang dibenarkan oleh Allah SWT sebagaimana
firmanNya dalam surah An-Nisa ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً
عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”
Memang ada cara lain untuk memelihara nilai uang yang juga bernuansa
bisnis, yaitu dengan cara “membungakan”. Melalui utang-piutang. Baik dilakukan
secara individu maupun oleh lembaga keuangan. Tapi cara ini batil karena
mengandung unsur riba. Dilarang Allah SWT. Siklus penjagaan harta dalam pola
ini tidak ada unsur barang atau jasa. Polanya “uang – uang” bukan pola “uang
– barang/jasa – uang”. Oleh karenanya pola ini bukan pola perdagangan
barang atau jasa, tetapi lebih kepada perdagangan uang. Bertentangan dengan norma
yang dikandung dalam ayat di atas. Kreasi nilai rendah dalam siklus bisnisnya. Pengalihan
hak mengandung unsur kezaliman karena spekulasi risiko yang tidak berimbang diantara pihak yang bertransaksi
yaitu antara kreditur dan debitur. Oleh karenanya tujuan memelihara daya beli dari
pengaruh inflasi tidak tercapai secara optimal, bahkan mungkin hilang, karena dengan pola ini secara tidak langsung uang
beralih fungsi dari alat tukar penyimpan nilai menjadi barang komoditi. Yang
tetap terikat pada hukum teori harga.
Jadi, memelihara nilai uang melalui perdagangan barang atau jasa dalam
sektor ril amat berberkah. Seluruh mata rantai dalam siklus polanya akan
terjadi penciptaan nilai. Nilai fundamental uang terjaga. Secara makro akan
berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi. Kemaslahatan sebagaimana tujuan
ekonomi dari perspektif Islam secara menyeluruh akan terasa. Sementara dengan
cara “membungakan” uang untuk menjaga nilainya akan menciptakan ketidakseimbangan
karena kreasi nilai dalam mata rantai siklus bisnisnya tidak seimbang. Ada
spekulasi risiko diantara mata rantainya, kemaslahatan tidak merata, dan
karenanya ada unsur kezaliman. Akibatnya, nilai fundamental uang secara
otomatis kurang terjaga. Secara makro memang memiliki kontribusi dalam
pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga menciptakan
kesenjangan yang lebar, dan ini adalah biang dari banyaknya fenomena sosial di
dunia ini. Mari berdagang!!